Dua Garis Pertama

By Magenta - June 21, 2020

Memulai menulis ternyata membutuhkan niat. Setelah bertahun tahun ingin menulis, hari ini saya coba realisasikan niat tersebut untuk berbagi pengalaman hidup.

Kami menikah pada Desember 2016 dengan usia yang tak lagi muda karna menunggu suami menyelesaikan studi S2. Setelah menikah, kami berharap untuk segera mendapatkan keturunan. Namun 2 bulan pasca menikah belum ada tanda kehamilan. Kami putuskan untuk konsultasi ke dokter kandungan secepatnya. Kami menemui dokter kandungan di RS Hermina Bogor. Setelah di USG 2D ternyata kandung kemih kosong karna saya baru saja buang air kecil sebelum USG. Dokter menawarkan USG transvaginal dan kami iya-kan. Hasilnya semuanya baik. Dokter hanya menyarankan untuk bersabar dan menikmati momen menjadi pasangan baru. Jika sudah setahun pasca menikah masih belum hamil, barulah dokter tersebut menyarankan promil. Setelah konsultasi dan tiba di kasir, ternyata USG transvaginal lebih mahal dari 2D. Hal ini jadi pelajaran bagi kami untuk menanyakan biaya dahulu sebelum dilakukan tindakan untuk mencegah membengkaknya tagihan.

Alhamdulillah pada April 2017 saya pertama kalinya melihat 2 garis pada testpack. Pertama kali terlambat datang bulan (UK 4 week) hasilnya garis kedua terlihat sangat tipis, sehingga saya coba test beberapa hari kemudian. Hasilnya 2 garis terlihat semakin jelas (foto terlampir).


Tentu saja kami bahagia dan tidak sabar untuk cek ke dokter kandungan. Usia kehamilan 5 week (prediksi kami) kami cek USG namun baru terlihat penebalan dinding rahim, diminta datang kembali pada UK 8 week untuk cek detak jantung. Setelah itu saya mengalami flek terus menerus. Saat UK 8 week, baru terlihat kantung rahim (bentuk bulat saja), dokter curiga janin tidak berkembang (blighted ovum), dan diminta datang minggu berikutnya. Kami pergi ke beberapa dokter kandungan untuk mendapatkan second opinion namun jawaban dari dokter kurang lebih sama. 

Di tengah flek tersebut, saya memaksakan diri untuk menghadiri syukuran kerabat suami di Jakarta. Dari Bogor kami naik KRL ke lokasi karena “tidak enak” jika tidak datang. Setelah itu flek semakin intens dan akhirnya kami konsultasi lagi ke dokter dan diminta bedrest dan meminum obat penguat kandungan. Sayangnya saat itu saya “bandel”, tetap bekerja saat bedrest karena tuntutan pekerjaan dari atasan. Teman-teman kerja sudah berusaha membantu dengan mengambil alih pekerjaan saya agar saya bisa fokus bedrest, namun saat itu ada beberapa pekerjaan yang hanya dapat diselesaikan oleh saya sehingga saya terpaksa harus tetap bekerja. Kedua hal tersebut sangat saya sesali dan tidak ingin saya ulangi di kehamilan berikutnya.

Saya lebih nyaman berkonsultasi ke dokter wanita, jadi saya memilih untuk konsultasi ke Dokter Arina di RS Melania Bogor. Setelah seminggu harap harap cemas, kami konsultasi kembali ke dokter, ternyata kantung rahim semakin menyusut namun tak ada sang "janin". Analoginya seperti telur yang tidak ada kuning telurnya. Dr. Arina menjadwalkan tindakan curettage satu minggu kemudian (rasanya sedih sekali). Dokter menjelaskan bahwa sering terjadi kasus blighted ovum (BO) pada kehamilan pertama. Penyebabnya belum diketahui, namun dokter Arina membesarkan hati kami bahwa setelah proses kuret biasanya tidak lama akan hamil lagi. Dokter mengatakan, jika terdapat pendarahan hebat sebelum jadwal kuret, kami harus segera ke IGD dan dokter tersebut menyarankan agar menggunakan BPJS atau asuransi lainnya. Keluar ruangan dokter saya tak bisa lagi membendung air mata, menetes begitu saja. Suami berusaha menenangkan dan menguatkan.

Tibalah pada hari H (jadwal kuret). Bangun tidur saya merasakan hal aneh, lalu setelah di cek ternyata pendarahan. Pendarahannya terjadi tepat seperti prediksi dokter (di hari H jadwal kuret). Rasanya tidak sakit sama sekali, lalu saya bangunkan suami agar diantar ke IGD RS Melania Bogor. Sesampainya di IGD, suami mengurus administrasi rumah sakit, daftar menggunakan BPJS sesuai saran dokter. Tim medis di IGD pun menghubungi dokter Arina dan saya diminta istirahat saja di IGD, sarapan dahulu, lalu diminta puasa setelah sarapan hingga saatnya operasi kuret di sore itu. 

Siang hari saya dipindah ke ruang bersalin, lalu diberikan obat yang membuat saya mules. Bulak balik kamar mandi dan darahnya semakin banyak hingga menggumpal seperti hati ayam. 
Alat-alat untuk proses kuret sudah disiapkan, lalu dokter anastesi datang dan menyuntikkan obat bius. Seketika pandangan pun kabur, lalu saya pun tertidur (efek bius total).

Bangun tidur rasanya seperti ingin terjatuh. Saya lihat ada ibu saya yang menunggu, lalu saya tanyakan apakah operasinya sudah selesai? Ibu saya mengatakan sudah. Alhamdulillah tidak terasa sakit. Suami datang, menanyakan mau makan apa. Saya berpikir keras, menimbang-nimbang dan menjawab “cah kangkung”. 

Malam harinya saya dipindahkan ke ruang perawatan. Saya merasa baik-baik saja, namun ibu saya mengingatkan untuk jalan pelan-pelan, dsb. Katanya kuret itu seperti habis melahirkan, jadi harus hati-hati. Tak lama efek bius pun hilang, rasanya agak pusing. Saya diberi resep bledstop dan mefinol, juga diberi surat izin untuk istirahat selama 6 hari oleh dokter. Malam itu juga saya ingin pulang ke rumah, perawat mengecek kondisi saya lalu berkonsultasi dengan dokter dan membolehkan saya untuk pulang ke rumah. Saya perhatikan suami dan orang tua saya, mereka selalu ada saat suka dan duka. Alhamdulillah, saya beruntung memiliki keluarga yang selalu mensupport saya dalam berbagai kondisi.

Menerima kenyataan tentang kehilangan memang tak mudah. Yakinlah bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan hamba-Nya. InsyaAllah jika kita sabar, kita akan diberikan pengganti yang lebih baik 😊

  • Share:

You Might Also Like

0 comments